Selasa, November 18, 2008

INSTITUSI, POLITIK DAN EKONOMI

Proses Politik dan Ekonomi
Awal tulisan ini adalah sebuah paper untuk mata kuliah perencanaan dalam pembangunan ekonomi di bawah judul Intitusi dan Politik. Namun, saya lebih suka menambahkan dengan judul, "Institusi, Politik dan Ekonomi."
Institusi dan politik sebagaimana yang dijelaskan oleh Elhanan Helpman dalam Mystery of Economic Growth, dimulai dengan beberapa bagian yaitu, Perubahan Sejarah, Hukum Adat, Hukum Penjajah, Geografi lawan Institusi, dan Ekonomi Politik. Benang merah dari penjelasan elhanan adalah hubungan tarik menarik antara struktur infra dan struktur supra dalam kajian ilmu politik. Sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut :

Dalam gambar 1, nampak bahwa dalam mengagregasikan kebijakan-kebijakan publik memerlukan proses politik yang saling tarik menarik dan ulet untuk menentukan sebuah keputusan yang akan berdampak pada publik. Publik pun akhirnya, memberikan responnya yang dijadikan sebagai input oleh struktur supra. Respon publik yang menerima kebijakan pemerintah, oleh Riant (2001) disebut sebagai popularitas sebagai bentuk penerimaan publik. Popularitas ini diwakili oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang memiliki variabel diantaranya
1. Inflasi,
2. Pendapatan Nasional,
3. Kemiskinan,
4. Pertumbuhan Ekonomi,
5. Defisit Neraca Perdagangan Internasional.
Dengan demikian, jelas bahwa institusi baik yang terdapat dalam infra dan supra struktur sebagai sebuah proses politik menentukan arah selanjutnya dalam proses pembangunan ekonomi yang akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan yang mendasar adalah institusi yang harus bagaimana yang bisa menjamin bahwa proses politik mampu memberikan jawaban atas kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan masyarakat? Sebab dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa-negara, sering dilalui antara otoriter – demokratis, sosialis-komunis versus kapital-liberal.

Demokratis-Populis Versus Praktekal-Teknokrat
Dalam proses politik dan pembangunan indonesia, merujuk tulisan John Bresnan, pakar politik Amerika, "Transisi Indonesia ; Upaya Mencari Stabilitas", bahwa pola kekuasaan yang digunakan Presiden Wahid dan Mega mengulang pola presiden Soekarno. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan massa yang memberikan dukungannya nyaris otomatis (automatic support). Mereka mengandalkan kekuatan personal daripada kemampuan sistem. Atau ada yang menyebutnya demokratis-populis.
Sementara pola kekuasaan habibie-SBY mengulang pola presiden Soeharto. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan sistem selain kemampuan manajerial (teknokrat-strategis) yang memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Atau ada yang menyebutnya praktekal-teknokrat.
Kedua aliran ini juga saling tarik menarik diantara keduanya, bila pola kekuasan cenderung pada demokratis-populis di sisi lain, maka pola praktekal-teknokrat cenderung berkurang dan melemah di sisi yang lain. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.
Pertanyaan yang muncul juga hampir sama dengan pertanyaan sebelumnya, mana yang harus dipilih? Demokratis-populis atau praktekal-teknokrat? Karena dalam praktek pola kekuasaan yang sesungguhnya, sangatlah sulit mengimplementasikannya.


Mempertahankan kekuasaan adalah dogma yang melekat dalam politik sejak kekuasaan itu ada di muka bumi. Penganjur mempertahankan kekuasaan politik adalah filsuf italia, machiavelli (dalam Riant, 2001), mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun itu jauh lebih baik daripada membiarkan kekuasaan jatuh bangun dan akhirnya merugikan rakyat yang dipimpinya, karena tidak sempat membangun dan mengembangkan dirinya.
Pemikiran Machiavelli memiliki relevansinya jika dihubungkan dan diletakkan dalam kajian ekonomi politik, termasuk negara berkembang. Bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, maka pemerintah perlu memperoleh dan mempertahankan popularitas, dan popularitas diperoleh jika pemerintah membayar rakyatnya melalui kemajuan ekonomi, meskipun harus mengorbankan sejumlah sisi yang lain. Inilah pragmatisme yang sering disalahnilaikan sebagai menghalalkan segala cara sehingga ada adagium bahwa politik itu kotor. Walaupun saya tidak sependapat dengan politik itu kotor, tetapi para pelakunyalah yang kotor, sebab kekuasaan memiliki filosofi mengemban amanah bukan kekuasaan untuk kekuasaan semata. Bagaimana mengisinya itulah tugas kita bersama membangun negeri ini. Mulai dari diri kita masing-masing tentunya.



Catatan
Dengan penjelasan sebelumnya, timbul pertanyaan, bagaimanakah membangun bangsa-negara? Apakah harus memisahkan antara otoriter – demokratis, dan sosialis-komunis versus kapital-liberal? Atau memisahkan antara demokratis-populis dengan praktekal-teknokrat? Penulis memberikan gambaran bahwa kedua-duanya diperlukan semua dalam proses pendewasaan dan pembangunan ekonomi baik dalam konteks politik, ekonomi, otoriter dan demokratis, permasalahannya adalah ketepatan dalam meletakkan atau memprioritaskan bagian-bagian itu pada tempat dan waktu yang tepat pula.
Populisme politik telah dicapai sehingga kekuasaan telah dipegangnya. Namun, prakteknya populisme politik atau populis-demokratis semata tidak dapat menjamin kehidupan bangsa-negara menuju kesejahteraan, bisa jadi sebaliknya menjadi proses kemunduran sbuah bangsa. Lihat proses demokrasi yang dipertontonkan pada zaman presiden soekarno, sehingga presiden perlu mengeluarkan maklumat, yang salah satunya kembali kepada UUD 1945 dengan presidensial. Setelah populime-politik mencapai puncaknya, perlu dilanjutkan dengan praktekal-teknokrat dengan manajerial kepemimpinan yang otokratik. Otokratik yang penulis maksud adalah mengakomodir semua institusi baik yang di infra maupun supra struktur, tetapi setelah semua disepakati maka perlu komitmen semua baik yang di infra maupun di supra struktur untuk menghormati kebijakan bersama-sama walaupun tidak sepakat. Makna ini setara dengan makna yang ada dalam konsep syura dalam Pemerintahan Islam.
Untuk menjalankan itu semua, perlu satu kata kunci lagi yaitu leadership yang mampu memanajerial dari arah politik-populis yang bergerak dari grass-root menuju dan memiliki concern kepada keunggulan praktekal-teknokrat. Inilah sepertinya yang paling ideal, sebab demokrasi perlu dijamin dan berjalan terlebih dahulu dan diimbangi atau diselaraskan dengan praktek manajemen politik dan pembangunan yang efisien dan efektif. Atau mampu menjalankan konsep good governance. Tentu juga, good governance yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sebab good governance yang liberalis ternyata gagal menjalankan misinya setelah ditimpa krisis financial yang dipicu oleh program subprime mortgage di AS seperti saat ini.

Tidak ada komentar: