Minggu, Desember 21, 2008
Rabu, November 19, 2008
Krisis Keuangan Global & Globalisasi
Pendahuluan
Badai krisis keuangan global sedang melanda dunia saat ini. Inilah dampak perekonomian dunia yang saling terkait antar negara dengan negara lain. Krisis yang bermula hanya dari program Subprime Mortgage Amerika Serikat. Subprime mortgage atau program KPR-nya Amerika ini ditujukan untuk rakyat miskin yang jumlahnya kurang dari 20% rakyat Amerika. Skema program ini dibiayai dengan dana bank dengan persyaratan yang sangat lunak, bahkan ada cerita yang berkembang saat itu dengan istilah NINJA; No Income, No Job, No Asset. Para NINJA inipun memperoleh program ini. Bayangkan, bagaimana mereka akan mengembalikan kredit perumahan bila statusnya NINJA? Dari sinilah krisis mulai menjalar, bank kehabisan darah segar, likuiditas perbankan kacau balau. Celakanya, bank-bank besar Amerika melakukan hal yang sama, sehingga untuk meminjam dana likuiditas pun susah sekali dan apabila ada dengan suku bunga yang sangat tinggi. Mau pinjam likuiditas ke bank sentral Amerika akan mengakibatkan dianggap perbankan yang bermasalah.
Alternatif lain,... menarik dana yang ada di cabang-cabang yang tersebar di seluruh dunia yang ditanamkan dalam berbagai bentuk rupa di pasar modal. Akhirnya pasar modal yang terkait dengan perbankan tersebut mengalami penurunan yang tajam. Ditambah lagi perbankan dan investor negara lain ada yang menanamkan dananya ke saham perbankan yang ada di Amerika. Terjadilah kait-mengait yang akan menyeret banyak investor baik lembaga atau individu di seluruh dunia. Beginilah krisis keuangan global terjadi dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Inilah dampak globalisasi ekonomi dunia.
Lantas, bagaimana sikap kita terhadap globalisasi yang sedang melanda dunia ini? Ada yang pro dan kontra. Jagdish Bhagwati (2004) misalnya, mengungkapkan kenapa kontra terhadap globalisasi.
Globalisasi ; Sikap Pengambil Kebijakan
Gelombang globalisasi tidak dapat dibendung lagi. Ia akan terus menggelinding dan akan menggilas bagi yang menghadangnya. Mampukah kita mengiringi arus globalisasi ini? Berkah atau justru kutukan bagi kita? Semua tergantung dari kita memandangnya. Namun yang jelas, ini sebuah peluang bagi kita / bangsa yang optimis. Walaupun demikian, tidak serta merta kita telan mentah-mentah apa yang datang dari globalisasi, apa yang diinginkan oleh era liberalisasi perdagangan dan investasi yang menjadi kata kunci globalisasi. Sikap yang perlu dikembangkan adalah ketegasan menolak unsur-unsur globalisasi yang memang nyata merugikan rakyat banyak, bukan malah seperti kerbau yang dicokok hidungnya, bukan nurut manut pada IMF yang hanya beberapa hari saja di Indonesia lalu mengatur seenaknya perekonomian Indonesia, tahu apa mereka terhadap Indonesia yang luas dan majemuk ini? Ya, realita menunjukkan lain, para pejabat atau mungkin para penjahat, hanya manut manut saja atas privatisasi BUMN, merger perbankan, dan penghapusan subsidi untuk rakyat kecil, dalam menyikapi krisis moneter 1997. Kata kuncinya adalah mengambil sikap tegas menolak bila memang unsur-unsur globalisasi merugikan rakyat banyak dan tidak manusiawi. Lindungi rakyat seperti amanah UUD kita. Itulah sikap pertama.
Sikap yang kedua, bahwa gerakan anti globalisasi adalah sesuatu yang akan tetap berguna asalkan, gerakan tersebut anti terhadap unsur-unsur tertentu globalisasi bukan pada globalisasi itu sendiri. Sebab menolak seluruh globalisasi dengan berbagai piranti ideologinya adalah hal yang hampir mustahil bisa dilakukan. Ibarat manusia yang keluar dari fitrahnya.
Untuk bisa menganggap globalisasi sebagai peluang, tentu harus punya kesiapan menghadapinya. Kesiapan yang mutlak adalah, SDM yang handal dan berdaya saing tinggi (high competitive). High competitive itu ditentukan oleh sejauh mana kita menjadi manusia-manusia yang efektif dan efisien. Sudahkah kita menjadi manusia efektif dan efisien? Sudahkah keuangan negara efektif dan efisien melayani rakyat? Sudahkah efektif dan efisien para pelayan masyarakat menjalankan tugasnya? Sudahkah kita semua secara keseluruhan efektif dan efisien? Sepertinya, jawaban yang tepat adalah belum semuanya kita efektif dan efisien dalam melakukan setiap peran kita dalam mengelola bangsa dan negara ini.
Dengan memiliki kualitas SDM yang competitive, berkarakter dan memiliki integritas yang kuat, globalisasi sebagai peluang ini akan mudah dikendalikan. Globalisasi yang sudah lari tunggang langgang ini sehingga mengakibatkan krisis keuangan global, akan mudah kita arahkan dan kontrol ke arah yang lebih baik dan manusiawi. Menghilangkan unsur-unsur ketidakadilan ekonomi dan spekulatif sebagai akibat informasi yang mixed, dan kita menjadi pemenang bukan pecundang atau objek globalisasi yang selalu kalah dan dirugikan oleh orang-orang dan bangsa-bangsa yang ingin memanfaatkan globalisasi untuk menguasai dan menguras sumber-sumber ekonomi negara lain.
Badai krisis keuangan global sedang melanda dunia saat ini. Inilah dampak perekonomian dunia yang saling terkait antar negara dengan negara lain. Krisis yang bermula hanya dari program Subprime Mortgage Amerika Serikat. Subprime mortgage atau program KPR-nya Amerika ini ditujukan untuk rakyat miskin yang jumlahnya kurang dari 20% rakyat Amerika. Skema program ini dibiayai dengan dana bank dengan persyaratan yang sangat lunak, bahkan ada cerita yang berkembang saat itu dengan istilah NINJA; No Income, No Job, No Asset. Para NINJA inipun memperoleh program ini. Bayangkan, bagaimana mereka akan mengembalikan kredit perumahan bila statusnya NINJA? Dari sinilah krisis mulai menjalar, bank kehabisan darah segar, likuiditas perbankan kacau balau. Celakanya, bank-bank besar Amerika melakukan hal yang sama, sehingga untuk meminjam dana likuiditas pun susah sekali dan apabila ada dengan suku bunga yang sangat tinggi. Mau pinjam likuiditas ke bank sentral Amerika akan mengakibatkan dianggap perbankan yang bermasalah.
Alternatif lain,... menarik dana yang ada di cabang-cabang yang tersebar di seluruh dunia yang ditanamkan dalam berbagai bentuk rupa di pasar modal. Akhirnya pasar modal yang terkait dengan perbankan tersebut mengalami penurunan yang tajam. Ditambah lagi perbankan dan investor negara lain ada yang menanamkan dananya ke saham perbankan yang ada di Amerika. Terjadilah kait-mengait yang akan menyeret banyak investor baik lembaga atau individu di seluruh dunia. Beginilah krisis keuangan global terjadi dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Inilah dampak globalisasi ekonomi dunia.
Lantas, bagaimana sikap kita terhadap globalisasi yang sedang melanda dunia ini? Ada yang pro dan kontra. Jagdish Bhagwati (2004) misalnya, mengungkapkan kenapa kontra terhadap globalisasi.
Globalisasi ; Sikap Pengambil Kebijakan
Gelombang globalisasi tidak dapat dibendung lagi. Ia akan terus menggelinding dan akan menggilas bagi yang menghadangnya. Mampukah kita mengiringi arus globalisasi ini? Berkah atau justru kutukan bagi kita? Semua tergantung dari kita memandangnya. Namun yang jelas, ini sebuah peluang bagi kita / bangsa yang optimis. Walaupun demikian, tidak serta merta kita telan mentah-mentah apa yang datang dari globalisasi, apa yang diinginkan oleh era liberalisasi perdagangan dan investasi yang menjadi kata kunci globalisasi. Sikap yang perlu dikembangkan adalah ketegasan menolak unsur-unsur globalisasi yang memang nyata merugikan rakyat banyak, bukan malah seperti kerbau yang dicokok hidungnya, bukan nurut manut pada IMF yang hanya beberapa hari saja di Indonesia lalu mengatur seenaknya perekonomian Indonesia, tahu apa mereka terhadap Indonesia yang luas dan majemuk ini? Ya, realita menunjukkan lain, para pejabat atau mungkin para penjahat, hanya manut manut saja atas privatisasi BUMN, merger perbankan, dan penghapusan subsidi untuk rakyat kecil, dalam menyikapi krisis moneter 1997. Kata kuncinya adalah mengambil sikap tegas menolak bila memang unsur-unsur globalisasi merugikan rakyat banyak dan tidak manusiawi. Lindungi rakyat seperti amanah UUD kita. Itulah sikap pertama.
Sikap yang kedua, bahwa gerakan anti globalisasi adalah sesuatu yang akan tetap berguna asalkan, gerakan tersebut anti terhadap unsur-unsur tertentu globalisasi bukan pada globalisasi itu sendiri. Sebab menolak seluruh globalisasi dengan berbagai piranti ideologinya adalah hal yang hampir mustahil bisa dilakukan. Ibarat manusia yang keluar dari fitrahnya.
Untuk bisa menganggap globalisasi sebagai peluang, tentu harus punya kesiapan menghadapinya. Kesiapan yang mutlak adalah, SDM yang handal dan berdaya saing tinggi (high competitive). High competitive itu ditentukan oleh sejauh mana kita menjadi manusia-manusia yang efektif dan efisien. Sudahkah kita menjadi manusia efektif dan efisien? Sudahkah keuangan negara efektif dan efisien melayani rakyat? Sudahkah efektif dan efisien para pelayan masyarakat menjalankan tugasnya? Sudahkah kita semua secara keseluruhan efektif dan efisien? Sepertinya, jawaban yang tepat adalah belum semuanya kita efektif dan efisien dalam melakukan setiap peran kita dalam mengelola bangsa dan negara ini.
Dengan memiliki kualitas SDM yang competitive, berkarakter dan memiliki integritas yang kuat, globalisasi sebagai peluang ini akan mudah dikendalikan. Globalisasi yang sudah lari tunggang langgang ini sehingga mengakibatkan krisis keuangan global, akan mudah kita arahkan dan kontrol ke arah yang lebih baik dan manusiawi. Menghilangkan unsur-unsur ketidakadilan ekonomi dan spekulatif sebagai akibat informasi yang mixed, dan kita menjadi pemenang bukan pecundang atau objek globalisasi yang selalu kalah dan dirugikan oleh orang-orang dan bangsa-bangsa yang ingin memanfaatkan globalisasi untuk menguasai dan menguras sumber-sumber ekonomi negara lain.
Selasa, November 18, 2008
INSTITUSI, POLITIK DAN EKONOMI
Proses Politik dan Ekonomi
Awal tulisan ini adalah sebuah paper untuk mata kuliah perencanaan dalam pembangunan ekonomi di bawah judul Intitusi dan Politik. Namun, saya lebih suka menambahkan dengan judul, "Institusi, Politik dan Ekonomi."
Institusi dan politik sebagaimana yang dijelaskan oleh Elhanan Helpman dalam Mystery of Economic Growth, dimulai dengan beberapa bagian yaitu, Perubahan Sejarah, Hukum Adat, Hukum Penjajah, Geografi lawan Institusi, dan Ekonomi Politik. Benang merah dari penjelasan elhanan adalah hubungan tarik menarik antara struktur infra dan struktur supra dalam kajian ilmu politik. Sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut :
Dalam gambar 1, nampak bahwa dalam mengagregasikan kebijakan-kebijakan publik memerlukan proses politik yang saling tarik menarik dan ulet untuk menentukan sebuah keputusan yang akan berdampak pada publik. Publik pun akhirnya, memberikan responnya yang dijadikan sebagai input oleh struktur supra. Respon publik yang menerima kebijakan pemerintah, oleh Riant (2001) disebut sebagai popularitas sebagai bentuk penerimaan publik. Popularitas ini diwakili oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang memiliki variabel diantaranya
1. Inflasi,
2. Pendapatan Nasional,
3. Kemiskinan,
4. Pertumbuhan Ekonomi,
5. Defisit Neraca Perdagangan Internasional.
Dengan demikian, jelas bahwa institusi baik yang terdapat dalam infra dan supra struktur sebagai sebuah proses politik menentukan arah selanjutnya dalam proses pembangunan ekonomi yang akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan yang mendasar adalah institusi yang harus bagaimana yang bisa menjamin bahwa proses politik mampu memberikan jawaban atas kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan masyarakat? Sebab dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa-negara, sering dilalui antara otoriter – demokratis, sosialis-komunis versus kapital-liberal.
Demokratis-Populis Versus Praktekal-Teknokrat
Dalam proses politik dan pembangunan indonesia, merujuk tulisan John Bresnan, pakar politik Amerika, "Transisi Indonesia ; Upaya Mencari Stabilitas", bahwa pola kekuasaan yang digunakan Presiden Wahid dan Mega mengulang pola presiden Soekarno. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan massa yang memberikan dukungannya nyaris otomatis (automatic support). Mereka mengandalkan kekuatan personal daripada kemampuan sistem. Atau ada yang menyebutnya demokratis-populis.
Sementara pola kekuasaan habibie-SBY mengulang pola presiden Soeharto. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan sistem selain kemampuan manajerial (teknokrat-strategis) yang memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Atau ada yang menyebutnya praktekal-teknokrat.
Kedua aliran ini juga saling tarik menarik diantara keduanya, bila pola kekuasan cenderung pada demokratis-populis di sisi lain, maka pola praktekal-teknokrat cenderung berkurang dan melemah di sisi yang lain. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.
Pertanyaan yang muncul juga hampir sama dengan pertanyaan sebelumnya, mana yang harus dipilih? Demokratis-populis atau praktekal-teknokrat? Karena dalam praktek pola kekuasaan yang sesungguhnya, sangatlah sulit mengimplementasikannya.
Mempertahankan kekuasaan adalah dogma yang melekat dalam politik sejak kekuasaan itu ada di muka bumi. Penganjur mempertahankan kekuasaan politik adalah filsuf italia, machiavelli (dalam Riant, 2001), mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun itu jauh lebih baik daripada membiarkan kekuasaan jatuh bangun dan akhirnya merugikan rakyat yang dipimpinya, karena tidak sempat membangun dan mengembangkan dirinya.
Pemikiran Machiavelli memiliki relevansinya jika dihubungkan dan diletakkan dalam kajian ekonomi politik, termasuk negara berkembang. Bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, maka pemerintah perlu memperoleh dan mempertahankan popularitas, dan popularitas diperoleh jika pemerintah membayar rakyatnya melalui kemajuan ekonomi, meskipun harus mengorbankan sejumlah sisi yang lain. Inilah pragmatisme yang sering disalahnilaikan sebagai menghalalkan segala cara sehingga ada adagium bahwa politik itu kotor. Walaupun saya tidak sependapat dengan politik itu kotor, tetapi para pelakunyalah yang kotor, sebab kekuasaan memiliki filosofi mengemban amanah bukan kekuasaan untuk kekuasaan semata. Bagaimana mengisinya itulah tugas kita bersama membangun negeri ini. Mulai dari diri kita masing-masing tentunya.
Catatan
Dengan penjelasan sebelumnya, timbul pertanyaan, bagaimanakah membangun bangsa-negara? Apakah harus memisahkan antara otoriter – demokratis, dan sosialis-komunis versus kapital-liberal? Atau memisahkan antara demokratis-populis dengan praktekal-teknokrat? Penulis memberikan gambaran bahwa kedua-duanya diperlukan semua dalam proses pendewasaan dan pembangunan ekonomi baik dalam konteks politik, ekonomi, otoriter dan demokratis, permasalahannya adalah ketepatan dalam meletakkan atau memprioritaskan bagian-bagian itu pada tempat dan waktu yang tepat pula.
Populisme politik telah dicapai sehingga kekuasaan telah dipegangnya. Namun, prakteknya populisme politik atau populis-demokratis semata tidak dapat menjamin kehidupan bangsa-negara menuju kesejahteraan, bisa jadi sebaliknya menjadi proses kemunduran sbuah bangsa. Lihat proses demokrasi yang dipertontonkan pada zaman presiden soekarno, sehingga presiden perlu mengeluarkan maklumat, yang salah satunya kembali kepada UUD 1945 dengan presidensial. Setelah populime-politik mencapai puncaknya, perlu dilanjutkan dengan praktekal-teknokrat dengan manajerial kepemimpinan yang otokratik. Otokratik yang penulis maksud adalah mengakomodir semua institusi baik yang di infra maupun supra struktur, tetapi setelah semua disepakati maka perlu komitmen semua baik yang di infra maupun di supra struktur untuk menghormati kebijakan bersama-sama walaupun tidak sepakat. Makna ini setara dengan makna yang ada dalam konsep syura dalam Pemerintahan Islam.
Untuk menjalankan itu semua, perlu satu kata kunci lagi yaitu leadership yang mampu memanajerial dari arah politik-populis yang bergerak dari grass-root menuju dan memiliki concern kepada keunggulan praktekal-teknokrat. Inilah sepertinya yang paling ideal, sebab demokrasi perlu dijamin dan berjalan terlebih dahulu dan diimbangi atau diselaraskan dengan praktek manajemen politik dan pembangunan yang efisien dan efektif. Atau mampu menjalankan konsep good governance. Tentu juga, good governance yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sebab good governance yang liberalis ternyata gagal menjalankan misinya setelah ditimpa krisis financial yang dipicu oleh program subprime mortgage di AS seperti saat ini.
Awal tulisan ini adalah sebuah paper untuk mata kuliah perencanaan dalam pembangunan ekonomi di bawah judul Intitusi dan Politik. Namun, saya lebih suka menambahkan dengan judul, "Institusi, Politik dan Ekonomi."
Institusi dan politik sebagaimana yang dijelaskan oleh Elhanan Helpman dalam Mystery of Economic Growth, dimulai dengan beberapa bagian yaitu, Perubahan Sejarah, Hukum Adat, Hukum Penjajah, Geografi lawan Institusi, dan Ekonomi Politik. Benang merah dari penjelasan elhanan adalah hubungan tarik menarik antara struktur infra dan struktur supra dalam kajian ilmu politik. Sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut :
Dalam gambar 1, nampak bahwa dalam mengagregasikan kebijakan-kebijakan publik memerlukan proses politik yang saling tarik menarik dan ulet untuk menentukan sebuah keputusan yang akan berdampak pada publik. Publik pun akhirnya, memberikan responnya yang dijadikan sebagai input oleh struktur supra. Respon publik yang menerima kebijakan pemerintah, oleh Riant (2001) disebut sebagai popularitas sebagai bentuk penerimaan publik. Popularitas ini diwakili oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang memiliki variabel diantaranya
1. Inflasi,
2. Pendapatan Nasional,
3. Kemiskinan,
4. Pertumbuhan Ekonomi,
5. Defisit Neraca Perdagangan Internasional.
Dengan demikian, jelas bahwa institusi baik yang terdapat dalam infra dan supra struktur sebagai sebuah proses politik menentukan arah selanjutnya dalam proses pembangunan ekonomi yang akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan yang mendasar adalah institusi yang harus bagaimana yang bisa menjamin bahwa proses politik mampu memberikan jawaban atas kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan masyarakat? Sebab dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa-negara, sering dilalui antara otoriter – demokratis, sosialis-komunis versus kapital-liberal.
Demokratis-Populis Versus Praktekal-Teknokrat
Dalam proses politik dan pembangunan indonesia, merujuk tulisan John Bresnan, pakar politik Amerika, "Transisi Indonesia ; Upaya Mencari Stabilitas", bahwa pola kekuasaan yang digunakan Presiden Wahid dan Mega mengulang pola presiden Soekarno. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan massa yang memberikan dukungannya nyaris otomatis (automatic support). Mereka mengandalkan kekuatan personal daripada kemampuan sistem. Atau ada yang menyebutnya demokratis-populis.
Sementara pola kekuasaan habibie-SBY mengulang pola presiden Soeharto. Mereka menggunakan sumber daya politik kekuatan sistem selain kemampuan manajerial (teknokrat-strategis) yang memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Atau ada yang menyebutnya praktekal-teknokrat.
Kedua aliran ini juga saling tarik menarik diantara keduanya, bila pola kekuasan cenderung pada demokratis-populis di sisi lain, maka pola praktekal-teknokrat cenderung berkurang dan melemah di sisi yang lain. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.
Pertanyaan yang muncul juga hampir sama dengan pertanyaan sebelumnya, mana yang harus dipilih? Demokratis-populis atau praktekal-teknokrat? Karena dalam praktek pola kekuasaan yang sesungguhnya, sangatlah sulit mengimplementasikannya.
Mempertahankan kekuasaan adalah dogma yang melekat dalam politik sejak kekuasaan itu ada di muka bumi. Penganjur mempertahankan kekuasaan politik adalah filsuf italia, machiavelli (dalam Riant, 2001), mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun itu jauh lebih baik daripada membiarkan kekuasaan jatuh bangun dan akhirnya merugikan rakyat yang dipimpinya, karena tidak sempat membangun dan mengembangkan dirinya.
Pemikiran Machiavelli memiliki relevansinya jika dihubungkan dan diletakkan dalam kajian ekonomi politik, termasuk negara berkembang. Bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, maka pemerintah perlu memperoleh dan mempertahankan popularitas, dan popularitas diperoleh jika pemerintah membayar rakyatnya melalui kemajuan ekonomi, meskipun harus mengorbankan sejumlah sisi yang lain. Inilah pragmatisme yang sering disalahnilaikan sebagai menghalalkan segala cara sehingga ada adagium bahwa politik itu kotor. Walaupun saya tidak sependapat dengan politik itu kotor, tetapi para pelakunyalah yang kotor, sebab kekuasaan memiliki filosofi mengemban amanah bukan kekuasaan untuk kekuasaan semata. Bagaimana mengisinya itulah tugas kita bersama membangun negeri ini. Mulai dari diri kita masing-masing tentunya.
Catatan
Dengan penjelasan sebelumnya, timbul pertanyaan, bagaimanakah membangun bangsa-negara? Apakah harus memisahkan antara otoriter – demokratis, dan sosialis-komunis versus kapital-liberal? Atau memisahkan antara demokratis-populis dengan praktekal-teknokrat? Penulis memberikan gambaran bahwa kedua-duanya diperlukan semua dalam proses pendewasaan dan pembangunan ekonomi baik dalam konteks politik, ekonomi, otoriter dan demokratis, permasalahannya adalah ketepatan dalam meletakkan atau memprioritaskan bagian-bagian itu pada tempat dan waktu yang tepat pula.
Populisme politik telah dicapai sehingga kekuasaan telah dipegangnya. Namun, prakteknya populisme politik atau populis-demokratis semata tidak dapat menjamin kehidupan bangsa-negara menuju kesejahteraan, bisa jadi sebaliknya menjadi proses kemunduran sbuah bangsa. Lihat proses demokrasi yang dipertontonkan pada zaman presiden soekarno, sehingga presiden perlu mengeluarkan maklumat, yang salah satunya kembali kepada UUD 1945 dengan presidensial. Setelah populime-politik mencapai puncaknya, perlu dilanjutkan dengan praktekal-teknokrat dengan manajerial kepemimpinan yang otokratik. Otokratik yang penulis maksud adalah mengakomodir semua institusi baik yang di infra maupun supra struktur, tetapi setelah semua disepakati maka perlu komitmen semua baik yang di infra maupun di supra struktur untuk menghormati kebijakan bersama-sama walaupun tidak sepakat. Makna ini setara dengan makna yang ada dalam konsep syura dalam Pemerintahan Islam.
Untuk menjalankan itu semua, perlu satu kata kunci lagi yaitu leadership yang mampu memanajerial dari arah politik-populis yang bergerak dari grass-root menuju dan memiliki concern kepada keunggulan praktekal-teknokrat. Inilah sepertinya yang paling ideal, sebab demokrasi perlu dijamin dan berjalan terlebih dahulu dan diimbangi atau diselaraskan dengan praktek manajemen politik dan pembangunan yang efisien dan efektif. Atau mampu menjalankan konsep good governance. Tentu juga, good governance yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Sebab good governance yang liberalis ternyata gagal menjalankan misinya setelah ditimpa krisis financial yang dipicu oleh program subprime mortgage di AS seperti saat ini.
Sabtu, November 15, 2008
Bandit Palembang
Thoyib
Oleh Taufik Wijaya
Taufik Wijaya wartawan-cum-seniman Palembang, tahun lalu novelnya, Juaro, tentang dunia preman di Palembang, diluncurkan Pustaka Melayu. Penugasan liputan naskah ini dilakukan Yayasan Pantau dengan sponsor Unesco Jakarta.
SEBUAH kapal di perairan Sungsang, Sungai Musi, Palembang. Seorang pria mengayun-ayun sebilah pedang di depan para penumpang. Dia berteriak mengancam, “Jangan melawan! Aku bunuh kamu galo (semua) kalau melawan. Serahkan duit, emas atau jam tangan kalian!” Di belakang pria bernama Thoyib ini berdiri tiga lelaki dengan tatapan ganas.
Sejumlah harta benda pun berpindah tangan. “Gawe kito (pekerjaan kita) itu belum seberapa. Itu baru percobaan. Kalu galak awak melok kame (Kalau mau kamu ikut kami),” kata Usman Gopok, senior Thoyib, pemimpin perampokan itu.
Itu aksi pertama Thoyib, tahun 1967. Dia mengisahkannya pada saya. Thoyib kini ketua Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu atau disingkat PMPB. Anggota organisasi ini kebanyakan bandit, yang diklaim Thoyib “preman sadar.” Para anggota PMPB tak hanya menguasai pasar, tempat hiburan atau lahan parkir, melainkan bermain juga di dunia politik atau pemerintahan di Palembang dan Sumatra Selatan.
PMPB dideklarasikan pada 10 Oktober 2000. Jumlah anggotanya 70 ribu orang, tersebar di seluruh Sumatra Selatan. Di kepengurusannya terdapat sejumlah nama politisi maupun pengusaha, seperti Eddy Santana Putra dan Syahrial Oesman, masing-masing adalah walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan sejak 2003. Keduanya dari Partai Golongan Karya.
Dibanding organisasi massa seperti Pemuda Muhammadiyah atau Gerakan Pemuda Anshor, PMPB tampak lebih menonjol. Setidaknya berdasarkan jumlah plang nama. Plang nama PMPB tegak di sejumlah kampung di Palembang, yang di sana sulit saya temukan plang organisasi macam Muhammadiyah atau Anshor.
Thoyib, sang ketua, lahir 19 Agustus 1949 di Palembang. Nama lengkapnya Muhammad Thoyib Akib. Dia sulung 11 bersaudara. Tapi sembilan saudaranya meninggal sebelum beranjak remaja. Kematian adik-adiknya, menurut Thoyib, karena ilmu kebatinan yang dimiliki sang ayah, Masagus Akib. Ilmu tersebut membawa aura panas dan menuntut korban jiwa. Thoyib selamat karena dia kebetulan tinggal di rumah keluarga ibunya.
Masagus Akib sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Keluarganya hidup berkecukupan. Thoyib kecil tak pernah susah.
Hidup keluarga Thoyib berubah drastis setelah Akib meninggal pada September 1967. Belum genap sebulan Akib wafat, komplotan perampok menjarah Kampung 3 Ulu, Kertapati, Palembang. Rumah keluarga Thoyib ikut jadi sasaran. Dan ketika pagi tiba, keluarga Thoyib resmi jatuh miskin.
Ketika itu negara Indonesia juga dilanda krisis. Perekonomian parah. Rezim beralih dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Banyak warga terpaksa makan bulgur dan mengenakan pakaian karung goni.
Thoyib mendendam pada keadaan. Dia ingin membunuh para perampok itu. Tapi, dia tak tahu caranya. Dia pun tak tahu markas mereka. “Kalu awak (kalau kau) memang mau balas dendam, cubo melok (coba ikut) aku,” kata Usman Gopok, enam bulan kemudian.
Thoyib langsung setuju. Malamnya dia ikut Usman beserta dua anak buah pria itu merompak kapal penumpang di perairan Sungsang. Niat balas dendam membuat Thoyib justru mengikuti jejak musuhnya: jadi bandit.
Thoyib tak lagi susah. Demikian juga keluarganya. Mau makan, beli. Mau pakaian, beli. Mau perhiasan, pakai. Dan, puluhan perempuan, minta dikawini. Selama setengah tahun Thoyib menuai hasil merompak kapal-kapal di perairan sungai Musi dan selat Bangka.
Namun, pada akhir 1968 dia ditangkap di rumahnya. Dia diangkut ke penjara Jalan Merdeka Palembang. Selama enam bulan dia dibui.
“Waktu saya ditahan itu, ibu saya baru tahu apa yang saya lakukan. Dia marah,” kenang Thoyib.
Keluar dari penjara, Thoyib kembali bergabung dengan kelompok Usman. Mereka terus merompak di sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka.
Sejarah bajak laut atau lanun di perairan Sungsang dan selat Bangka telah dimulai sejak abad ke-14. Cheng Ho, panglima tertinggi angkatan laut Cina, menangkap seorang bajak laut dan membawanya pulang untuk dihukum pancung. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari penjelajahan pertamanya keliling Champa (Vietnam), Majapahit (Jawa), Deli (Sumatra), Srilangka, dan Kalkuta.
Siapa bajak laut ini?
Dia Chen Tsu-I, eks perwira angkatan laut Cina asal Kanton. Dia lari dari Cina karena anti Dinasti Ming. Dinasti tersebut menguasai Cina sejak 1368. Chen Tsu-I membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa Cina, Po-lin-fong yang berarti “pelabuhan tua.”
Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu-I menguasai daerah sekitar muara sungai Musi, perairan Sungsang dan selat Bangka. Anak buah Chen Tsu-I merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantong-kantong bandit Palembang.
Pada 1969 Thoyib pertama kali membunuh orang. Korbannya teman sendiri.
Suatu hari, setelah merasa cukup puas dengan hasil rompakan, Thoyib dan kawan-kawan naik ke darat untuk bagi hasil. Alangkah kecewanya Thoyib ketika Toni, yang selama ini dititipi hasil rompakan berupa uang dan emas, menyebut tabungan mereka telah disita polisi.
Semula Thoyib dan tiga kawannya, Cek Ing, Yohanes dan Herman percaya pada pengakuan Toni. Tetapi, seorang perempuan simpanan Toni mengadu bahwa selama mereka di laut, di darat Toni berfoya-foya.
“Aku setuju malam ini kita habisi budak taun (anak setan) itu,” kata Thoyib pada kawan-kawannya.
Mayat Toni penuh luka tusuk dan bacokan. Namun, mereka tak semua masuk sel. Cek Ing sukarela jadi tumbal. Dia mengaku sebagai pelaku tunggal kepada polisi.
Thoyib melarikan diri ke Lampung, bergabung dengan Basir, adik kandung Usman Gopok. Di daerah yang sebagian besar dikelilingi laut, kelompok baru Thoyib banyak beroperasi di kawasan Panjang. Mereka merompak kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Panjang.
Kelompok ini kemudian bertemu dengan sejumlah bandit Jakarta. Mereka sepakat beroperasi di dua wilayah, laut dan darat. Setiap anggota memiliki sepucuk pistol jenis FN. Pistol-pistol itu dibeli dari seorang tentara.
“Kelompok kami sangat terkenal saat itu. Kami merompak kapal Singapura, Jerman, Taiwan. Kami juga merampok toko emas, agen sepeda dan toko-toko yang besar,” kenang Thoyib.
AKHIR 1970. Empat orang memegangi tubuh Thoyib sambil memasang borgol dan rantai di tangan dan tubuhnya. Buk! Tubuh Thoyib dilempar ke bak belakang mobil Toyota Kijang milik Angkatan Laut. Tak berapa lama batu-batu melayang dan mendarat di tubuh Thoyib. Orang-orang di Pasar Bawah, Tanjungkarang, melampiaskan rasa benci mereka.
Beberapa menit sebelum penangkapan Thoyib, tujuh kawannya ditangkap di kamar kontrakan mereka.
Pemilik kontrakan melapor ke polisi. Perempuan tua itu sempat mengintip kegiatan Thoyib dan kawan-kawannya melalui lubang kecil di dinding papan. Dia terkejut melihat mereka tengah membersihkan senjata api.
Polisi menuduh kawanan Thoyib terlibat 17 kasus kejahatan. Thoyib dan kawan-kawan berusaha menyogok polisi, tapi gagal. Mereka divonis delapan tahun penjara. Ini menandai akhir masa jaya kelompok Thoyib di Lampung.
Memasuki bulan ketiga di tahanan kantor polisi, tiga dari kawanan itu berhasil kabur.
Akibatnya Thoyib dan empat rekannya dipindahkan ke sel isolasi di penjara Tanjungkarang. Satu orang menghuni satu sel. Selama setahun, dengan tubuh di rantai, mereka tak pernah menyaksikan siang maupun malam.
Pada 1972 pengadilan memindahkan Thoyib dan kawan-kawan ke penjara Cipinang, Jakarta. Di sini Thoyib hanya bertahan lima bulan. Dia berkelahi dengan kelompok bandit yang lebih dulu ditahan di sana. Thoyib lantas dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, dan mendekam di situ cuma sepekan. Pasalnya, dia ribut dengan pegawai penjara gara-gara distribusi makanan para tahanan.
Kali ini Thoyib dipindahkan ke penjara Banceuy Bandung, yang sekarang sudah jadi pertokoan. Baru tiga hari di tahanan, dia sudah menusuk bandit yang berkuasa di penjara itu. Thoyib marah rambutnya dipaksa potong pendek.
Dia pun dipindahkan ke penjara Cirebon. Setelah dua tahun di situ, Thoyib kembali berkelahi dengan sesama penghuni penjara. Dia terpaksa dipindahkan ke penjara Kuningan, masih di sekitar Jawa Barat.
Pada 1977, Thoyib bebas. Tapi dia tak langsung pulang ke Palembang. Thoyib malah membentuk kelompok bandit Cirebon. Setelah bentrokan di dalam, kelompok itu bubar jalan. Thoyib pun memutuskan pulang kampung.
SUATU sore Thoyib duduk di teras rumah panggung orangtuanya. Dia memikirkan apa yang didengarnya semalaman: suara ibunya. “Nak, tolong ibu, berentilah. Ingat nerako. Nerako (Nak, tolong ibu, berhentilah. Ingat neraka. Neraka).” Sang ibu, Nuriah namanya, meminta Thoyib bertobat. Menjelang magrib, suara itu masih mengiang di telinga.
Dia pergi ke tepi sungai Ogan. Dia mengambil sebuah batu koral sebesar kelereng, lalu melemparnya ke permukaan air sungai. Sebelum melempar batu, dia bersumpah. “Jika batu ini mengapung aku tetap menjadi bandit. Apabila tenggelam aku akan berhenti menjadi bandit. Bila aku melanggarnya, berarti aku keluar dari Islam. Tetapi, kalau berkelahi untuk membela diri atau teman, kalau terpaksa, aku harus melawan.”
Batu koral itu tenggelam.
Thoyib menepati nazarnya. Dia berhenti jadi bandit. Itu tahun 1979.
Hidup dengan prinsip baru bukan hal gampang. Pemasukan tak ada. Godaan untuk merampok selalu datang. Untuk menghindari godaan itu, dia nekad pergi ke sebuah sawmill atau pabrik pemotongan kayu.
Di sepanjang sungai Ogan terdapat 20 pabrik pemotongan kayu. Pabrik-pabrik itu punya masalah. Para pemiliknya sering mengeluh soal kayu mereka yang hilang dicuri.
“Aku menawari jasa menjadi keamanan pabrik mereka. Mereka setuju,” kisah Thoyib.
Setiap bulan Thoyib menerima gaji. “Itulah gaji halal pertamaku.”
Para pemilik pabrik puas dengan kerja Thoyib. Pencurian kayu berkurang. “Saya mengajak semua kawan yang diduga menjadi pencuri kayu sebagai tenaga keamanan sawmill.”
Nasib baik datang lagi. Seorang pengusaha angkutan kapal bernama Anang Yunus alias O An, mengajak Thoyib berbisnis. Dia menawari Thoyib mengelola pabrik, bukan sekadar penjaga tapi pemilik. Thoyib menerima tawaran tersebut. Keuntungan usaha dibagi dua, meski Anang Yunus pemilik modal.
Namun, kejayaan Thoyib sebagai pengusaha kayu habis pada 1983 menyusul operasi militer terhadap kayu ilegal, termasuk sawmill tak berizin. Mereka yang biasa memasok bahan baku kayu pada Thoyib putar haluan. Mereka memilih menjual bahan baku kepada perusahaan resmi.
Kebangkrutan Thoyib disusul musibah lain. Thoyib ditangkap dan di penjara selama sembilan hari. Penyebabnya?
Dalam mobil milik Thoyib ditemukan mayat. Salah seorang sahabat Toyib, bernama Atai, membunuh orang di mobil itu.
Selama setahun ekonomi keluarga Thoyib pas-pasan. “Saya sempat terpikir mau menjadi perompak lagi, tapi saya selalu teringat dengan sumpah itu.”
Suatu hari dia bertemu Ramli Sutanegara, pengurus Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong atau Kosgoro.
“Awak bergabung bae dengan organisasi ini. Awak harus mengenal orang-orang penting, mana tahu nanti akan ada gawean buat awak,” kata Sutanegara kepada Thoyib sambil menuangkan bir ke gelasnya.
Saat itu Thoyib bertamu ke kantor Kosgoro di samping bioskop Sanggar, Jalan Rustam Effendy, Palembang.
“Kalau memang bagus buat aku, ya, aku bergabung. Tapi aku nih harus banyak belajar dari awak, aku belum pernah berorganisasi,” kata Thoyib pada Sutanegara.
Pada 1986, dua tahun setelah pertemuan dengan Sutanegara, Thoyib menjabat ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia wilayah Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Pada 1993, dia juga menjadi ketua Pemuda Pancasila wilayah yang sama. Posisi Thoyib di organisasi makin cemerlang saat dia menjadi ketua Pemuda Pancasila Kota Palembang periode 1994-1999.
Selama gerakan antikebijakan pemerintahan Soeharto, massa dari organisasi tersebut jadi tameng status quo. Mereka menjadi pengaman dalam setiap aksi ke kantor pemerintah, memobilisasi massa saat kampanye pemilihan umum, atau meneror masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah.
“Tugas kami selain memobilisasi massa saat kampanye, juga mengamankan kantor pemerintah ketika ada unjuk rasa dan mengamankan lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah,” kata Ridwan, agen sayuran di pasar induk Jakabaring, anak buah Thoyib.
Saat kerusuhan Mei 1998 yang berujung jatuhnya Soeharto, para bandit menjadi salah satu pelaku utama penjarahan terhadap pertokoan dan rumah-rumah milik etnik Tionghoa. Mereka bersama warga lain merampas harta benda dan merusak pertokoan atau rumah orang Tionghoa. Bahkan, menurut informasi dari Tim Relawan Kemanusiaan di Palembang, terjadi pula pelecehan seksual terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.
“Kami mengambil apa saja. Makanan, barang-barang elektronik. Ya, kami menimbun di rumah sebelum dijual,” kata Ridwan, bangga.
Di sisi lain, para bandit ini dapat uang juga dari orang-orang Tionghoa kaya. Mereka disewa untuk menjaga pertokoan dan rumah-rumah. Keuntungan ganda.
SENIN, 19 Februari 2001, Thoyib bersama anggota organisasi PMPB berunjuk rasa ke gedung Dewan Sumatra Selatan di Jalan Pekan Olahraga Mahasiswa IX Palembang. Massa sekitar 250 orang.
Thoyib menyebut aksinya untuk membendung aksi para provokator dari Jakarta dan Lampung yang datang ke Palembang. Provokator itu dikabarkan akan memicu konflik antar etnik dan agama di Palembang.
“Sebagai wong Palembang saya sangat khawatir. Saya tidak mau Palembang ini menjadi Ambon.”
Thoyib menilai konflik di Ambon adalah konflik antara “Islam” dengan “Kristen”, sedangkan di Lampung antara “penduduk asli” dan “pendatang” dari Jawa. Dia tak tahu kalau konflik di Ambon juga bernuansa etnik, yaitu antara “bangsa Alifuru” dan “pendatang” dengan label BBM; Bugis, Buton, Makassar.
Tetapi ada yang menganggap aksi Thoyib itu bertujuan melindungi kepentingan politik para anggota dewan. Saat itu mereka menjadi perhatian masyarakat dan sering jadi sasaran unjuk rasa mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat gara-gara dugaan korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp 2,1 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumatra Selatan tahun 2000.
Februar Rachman dari Partai Demokrasi Banteng Kebangsaan, menilai PMPB sebagai organisasi bandit.
“Perilaku mereka kan tetap seperti bandit. Melakukan kekerasan,” kata Rachman.
Pertengahan Maret 2005, Thoyib dan Febuar Rachman nyaris berkelahi di Pasar Induk Jakabaring, Palembang.
Pagi itu Rachman ingin bertemu walikota Eddy Santana Putra yang akan membuka kegiatan pasar murah. Dia datang bersama sejumlah aktivis dan mahasiswa. Tiba-tiba para pedagang dan Februar Rachman mendapat serangan dari orang-orang Thoyib, yang jadi petugas keamanan pasar tersebut. Mereka mengatakan ada kabar Febuar Rachman bersama mahasiswa dan aktivis itu hendak merebut lahan kerja mereka.
“Apa kami gilo? Kami mau bertemu dengan walikota untuk membahas lokasi para pedagang kaki lima yang digusur di Pasar 16 Ilir. Termasuk janji keringanan pembelian kios. Bukan minta jatah,” kata Febuar Rachman.
Thoyib membela anak buahnya, “Kita bukan meneror atau mengancam. Kita justru berjaga-jaga agar kondisi aman dan lancar.”
RUANG tamu terletak di bagian bawah rumah panggung itu, dicat putih. Ada dua stel kursi tamu di sana. Kursi sofa dan kursi jati ukiran. Di dinding dan bufet terpajang potret Thoyib bersama antara lain, Eddy Santana Putra dan mantan gubernur Sumatra Selatan Ramli Hasan Basri.
Di dinding lain juga terpampang foto Thoyib dengan Ibnu Hartomo. “Dia kan adik Ibu Tien Soeharto. Kami bertemu di rumahnya di kawasan Condet, Jakarta, sekitar tahun 80-an awal,” kata Thoyib. “Saya ke rumahnya untuk mengurusi perkebunan miliknya di Banyuasin yang bermasalah,” lanjutnya.
Thoyib kini berencana membangun sebuah pesantren di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, di atas lahan dua hektare. Pesantren ini akan diberi nama Al-Amanah. Untuk tujuan ini, Thoyib bekerjasama dengan Ali Singo, yang juga mantan bandit. ***
Sejarah Banding Palembang
BANDIT menurut kamus bahasa artinya penjahat, sedangkan banditisme adalah perilaku atau tindakan seperti bandit. Di Palembang, bandit punya banyak sebutan. Ada yang menyebut “juaro” yang diperuntukan penjahat jago berkelahi, main perempuan, berjudi dan calak atau licik. Lalu, “tikus angin” buat menyebut bandit kampung atau bandit yang kejahatannya sebatas mencuri sandal jepit, sepatu, pakaian yang dijemur atau ayam.
Bandit yang melakukan kejahatan besar di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Hongkong atau Taiwan, disebut “duta” yang artinya utusan. Penyebutan duta ini merupakan penghalusan penyebutan para bandit yang beroperasi di luar negeri. Di mata keluarga dan kerabatnya, para duta ini dianggap pahlawan. Sebab hasil kejahatan mereka biasanya digunakan buat modal usaha keluarga atau dibagikan kepada kawan-kawan si duta yang tak mampu.
Daerah yang paling banyak duta-nya adalah Kayuagung, sebuah kota sekitar 60 kilometer dari Palembang ke arah selatan. Sebelum berangkat biasanya keluarga si calon duta akan melakukan selamatan atau sedekah. Ritual tersebut berupa doa bersama agar si duta sukses dan selamat dalam menjalankan misinya.
Menariknya sebagian duta ini hanya satu kali melakukan kejahatan. Mereka melakukan kejahatan itu guna mencari modal buat usaha, atau langkah terakhir untuk mengatasi kemiskinan. Tidak ada duta yang gagal saat pulang ke kampungnya. Mereka yang gagal tak pulang. Lebih baik mereka memilih mati di jalanan.
Bagaimana menebak seseorang itu bandit atau bukan di Palembang? Meski tak pasti benar, saya mencatat ciri-ciri seorang bandit. Misalnya di tubuhnya ada tato.
Tato yang dibuat bukan pula mengedepankan unsur keindahan, melainkan sebagai tanda bae. Umumnya dibuat dengan alat tradisional, jarum dan tinta, sehingga bentuknya tak begitu jelas atau tak beraturan tebal-tipis tintanya. Motif tato pun hanya sebatas nama, hati perlambang cinta, senjata, ular, atau harimau. Tato-tato itu biasanya dibuat di lengan, bahu dan dada. Sejumlah bandit mengatakan pembuatan tato itu dilakukan oleh kawan mereka di penjara atau di kampung.
Pada era 70-an dan 80-an, para bandit di Palembang umumnya berambut panjang. Mengenakan blue jeans ketat dan jaket kulit. Sesekali mengenakan t-shirt yang kedua lengannya dipotong. Cincin dengan batu besar dan akar bahar menghiasi jari tangan. Di leher melingkar kalung emas.
Ada dua tipe tubuh bandit di masa itu, kerempeng dan kekar. Yang kerempeng umumnya mengonsumsi ganja, sedangkan yang kekar senangnya menegak bir atau anggur.
Ciri lainnya, dari pinggang mereka tersembul ujung belati.
Pada era 90-an hingga saat ini, ciri-ciri itu mulai pudar, dan hanya dapat dilihat pada bandit-bandit kampung. Bandit-bandit gaul, penampilannya sudah trendi. Berambut pendek, mengenakan kemeja atau celana jins yang disetrika.
Yang jadi tanda khusus biasanya kelopak mata. Cenderung lembam, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak tidur. Jika memandang seseorang, lama dan tak berkedip. Bila menghadiri suatu acara—misalnya menjadi pengaman—mengambil posisi duduk atau berdiri agak ke sudut. Banyak mengenakan kacamata hitam. Jarang bicara.
Bila di tempat karaoke, mereka umumnya menyanyi dengan suara dibesarkan. Lagu-lagu yang dipilih umumnya berirama melayu atau dangdut. Lagu pop yang banyak digemari adalah lagu-lagu yang dipopulerkan Broery Pesolima atau Broery Marantika seperti lagu Jangan Ada Dusta di Antara Kita dan Karisma Cinta atau lagu-lagu milik Panbers dan Mercys. Terakhir, rokok yang mereka hisap umumnya rokok kretek.
Khusus bandit duta, yang baru pulang ke Kayuagung, akan mengenakan sepatu putih, celana berwarna putih serta kemeja putih.
Di mana kita dapat menemukan bandit-bandit kampung? Paling banyak di Lorong Budi. Ini kampung bandit. Hampir setiap rumah di kampung itu dihuni bandit. Pencopet. Penodong. Dari sini banyak bandit mengorbit jadi perampok rumah, perompak kapal, juga juragan bisnis seks.
Di Lorong Budi, tidak sedikit sebuah keluarga dari kakek, bapak hingga cucu adalah bandit. Banyak kaum perempuannya, baik yang bekerja maupun tidak, senang bermain judi kartu domino. Hari-hari kaum pria, dari bapak hingga ke anak-anak, menenggak anggur. Sebagian besar dari mereka tak tamat sekolah dasar.
Meskipun sebagian besar warganya bandit, kampung itu cukup aman, kecuali ada penyerangan dari kampung lain.
Kurun 1960 – 1970, peperangan antarkampung merupakan hal biasa. Kaum remaja yang sering berperang biasanya membentuk geng atau kelompok. Hidup geng bersandar dari uang hasil mencopet, menodong, mencuri atau memeras para pedagang di pasar. Bila ada anggota geng dari keluarga mampu umumnya “memeras” atau mencuri uang dan perhiasan milik orangtuanya.
Penampilan anggota geng-geng kampung ini tergantung dengan grup atau penyanyi yang mereka kagumi. Ada yang berpenampilan seperti anggota The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple atau Rhoma Irama.
Selain Lorong Budi, kantong-kantong bandit di Palembang adalah Kampung Lawang Kidul yang lebih dikenal Boom Baru—karena di kampung Lawang Kidul terdapat pelabuhan yang bernama Boom Baru—Kampung 13 Ilir, Kampung 14 Ilir, Kampung 10 Ilir, Kampung Kuto Batu, Kampung Sekojo, Kampung Tanggabuntung, Kampung Suro, Kampung Sei Batang, serta kampung Dwikora.
Semuanya masuk kawasan Palembang Ilir. Pada Palembang Ulu? Banyak juga, antara lain Kampung Kertapati, Kampung Sungki, Kampung Tembok Batu, Kampung 7 Ulu, Kampung 5 Ulu.
Ulu dan Ilir adalah identitas topografi Palembang. Kota ini memang dibelah sungai Musi, sehingga muncul dua kawasan: Palembang Ulu dan Palembang Ilir. Tak di Ulu atau Ilir, setiap bandit di Palembang selalu membawa senjata tajam, selain senjata api. Senjata tajam bisa belati, pedang atau pisau garfu. Belati umumnya dibawa bandit yang menjaga keamanan di pasar, pertokoan, terminal, atau yang menjadi penodong atau pencopet.
Belati senjata favorit. Juga bagi warga kebanyakan. Cara membawa senjata ini dimasukan ke sarung dari kulit atau kertas tebal yang dilipat kemudian diselipkan di pinggang.
Pedang dibawa para bandit yang lebih mapan. Pedang biasanya disimpan di kendaraan mereka. Pisau garpu dibawa bandit-bandit kampung. Senjata ini juga diselipkan di pinggang atau di dalam kaos kaki yang dikenakan. Pisau garpu terbuat dari garpu yang ujungnya diasah hingga menjadi tajam.
Kantong-kantong bandit kini sudah berkurang menyusul kebakaran lima kampung di Palembang, yakni 22 Ilir, 24 Ilir, 26 Ilir, 27 Ilir, pada Agustus 1982. Lorong Budi bahkan rata dengan tanah. Warganya mengungsi ke berbagai daerah.
Komunitas bandit juga berkurang ketika “skandal petrus” meletus. Petrus akronim penembak misterius. ”... Petrus itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang yang suka mengganggu ketentraman masyarakat,” kata Soeharto, bekas diktator Indonesia, dalam buku biografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Para bandit yang selamat dari Petrus dan memilih berhenti merampok tersebar di berbagai daerah. Kelompok Ibrahim Kepala 12 di Plaju. Kelompok Atai di Boom Baru. Kelompok Juki di Kertapati. Kelompok Thoyib, juga dari Kertapati, dapat dibilang paling bersinar di Sumatra Selatan.
Sejarawan lokal Djohan Hanafiah mengatakan, masyarakat Palembang harus hati-hati dengan aksi kekerasan yang dilakukan para bandit yang terorganisasi saat ini. ”Bandit-banditnya sudah pintar. Mereka sudah tahu cara berbisnis dan berpolitik. Hati-hati dengan aksi kekerasan yang mereka lakukan. Sejarah mencatat kekacauan akibat perubahan politik selalu memberi peluang aksi kekerasan para bandit.”
Kata-kata Hanafiah mungkin bisa dilacak kebenarannya pada proses pemilihan walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan. Massa Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu ikut “mengamankan” acara pemilihan. ***
Posted by Andreas Harsono at 1:39 PM
Labels: Malay, News Story
Oleh Taufik Wijaya
Taufik Wijaya wartawan-cum-seniman Palembang, tahun lalu novelnya, Juaro, tentang dunia preman di Palembang, diluncurkan Pustaka Melayu. Penugasan liputan naskah ini dilakukan Yayasan Pantau dengan sponsor Unesco Jakarta.
SEBUAH kapal di perairan Sungsang, Sungai Musi, Palembang. Seorang pria mengayun-ayun sebilah pedang di depan para penumpang. Dia berteriak mengancam, “Jangan melawan! Aku bunuh kamu galo (semua) kalau melawan. Serahkan duit, emas atau jam tangan kalian!” Di belakang pria bernama Thoyib ini berdiri tiga lelaki dengan tatapan ganas.
Sejumlah harta benda pun berpindah tangan. “Gawe kito (pekerjaan kita) itu belum seberapa. Itu baru percobaan. Kalu galak awak melok kame (Kalau mau kamu ikut kami),” kata Usman Gopok, senior Thoyib, pemimpin perampokan itu.
Itu aksi pertama Thoyib, tahun 1967. Dia mengisahkannya pada saya. Thoyib kini ketua Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu atau disingkat PMPB. Anggota organisasi ini kebanyakan bandit, yang diklaim Thoyib “preman sadar.” Para anggota PMPB tak hanya menguasai pasar, tempat hiburan atau lahan parkir, melainkan bermain juga di dunia politik atau pemerintahan di Palembang dan Sumatra Selatan.
PMPB dideklarasikan pada 10 Oktober 2000. Jumlah anggotanya 70 ribu orang, tersebar di seluruh Sumatra Selatan. Di kepengurusannya terdapat sejumlah nama politisi maupun pengusaha, seperti Eddy Santana Putra dan Syahrial Oesman, masing-masing adalah walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan sejak 2003. Keduanya dari Partai Golongan Karya.
Dibanding organisasi massa seperti Pemuda Muhammadiyah atau Gerakan Pemuda Anshor, PMPB tampak lebih menonjol. Setidaknya berdasarkan jumlah plang nama. Plang nama PMPB tegak di sejumlah kampung di Palembang, yang di sana sulit saya temukan plang organisasi macam Muhammadiyah atau Anshor.
Thoyib, sang ketua, lahir 19 Agustus 1949 di Palembang. Nama lengkapnya Muhammad Thoyib Akib. Dia sulung 11 bersaudara. Tapi sembilan saudaranya meninggal sebelum beranjak remaja. Kematian adik-adiknya, menurut Thoyib, karena ilmu kebatinan yang dimiliki sang ayah, Masagus Akib. Ilmu tersebut membawa aura panas dan menuntut korban jiwa. Thoyib selamat karena dia kebetulan tinggal di rumah keluarga ibunya.
Masagus Akib sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Keluarganya hidup berkecukupan. Thoyib kecil tak pernah susah.
Hidup keluarga Thoyib berubah drastis setelah Akib meninggal pada September 1967. Belum genap sebulan Akib wafat, komplotan perampok menjarah Kampung 3 Ulu, Kertapati, Palembang. Rumah keluarga Thoyib ikut jadi sasaran. Dan ketika pagi tiba, keluarga Thoyib resmi jatuh miskin.
Ketika itu negara Indonesia juga dilanda krisis. Perekonomian parah. Rezim beralih dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Banyak warga terpaksa makan bulgur dan mengenakan pakaian karung goni.
Thoyib mendendam pada keadaan. Dia ingin membunuh para perampok itu. Tapi, dia tak tahu caranya. Dia pun tak tahu markas mereka. “Kalu awak (kalau kau) memang mau balas dendam, cubo melok (coba ikut) aku,” kata Usman Gopok, enam bulan kemudian.
Thoyib langsung setuju. Malamnya dia ikut Usman beserta dua anak buah pria itu merompak kapal penumpang di perairan Sungsang. Niat balas dendam membuat Thoyib justru mengikuti jejak musuhnya: jadi bandit.
Thoyib tak lagi susah. Demikian juga keluarganya. Mau makan, beli. Mau pakaian, beli. Mau perhiasan, pakai. Dan, puluhan perempuan, minta dikawini. Selama setengah tahun Thoyib menuai hasil merompak kapal-kapal di perairan sungai Musi dan selat Bangka.
Namun, pada akhir 1968 dia ditangkap di rumahnya. Dia diangkut ke penjara Jalan Merdeka Palembang. Selama enam bulan dia dibui.
“Waktu saya ditahan itu, ibu saya baru tahu apa yang saya lakukan. Dia marah,” kenang Thoyib.
Keluar dari penjara, Thoyib kembali bergabung dengan kelompok Usman. Mereka terus merompak di sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka.
Sejarah bajak laut atau lanun di perairan Sungsang dan selat Bangka telah dimulai sejak abad ke-14. Cheng Ho, panglima tertinggi angkatan laut Cina, menangkap seorang bajak laut dan membawanya pulang untuk dihukum pancung. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari penjelajahan pertamanya keliling Champa (Vietnam), Majapahit (Jawa), Deli (Sumatra), Srilangka, dan Kalkuta.
Siapa bajak laut ini?
Dia Chen Tsu-I, eks perwira angkatan laut Cina asal Kanton. Dia lari dari Cina karena anti Dinasti Ming. Dinasti tersebut menguasai Cina sejak 1368. Chen Tsu-I membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa Cina, Po-lin-fong yang berarti “pelabuhan tua.”
Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu-I menguasai daerah sekitar muara sungai Musi, perairan Sungsang dan selat Bangka. Anak buah Chen Tsu-I merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantong-kantong bandit Palembang.
Pada 1969 Thoyib pertama kali membunuh orang. Korbannya teman sendiri.
Suatu hari, setelah merasa cukup puas dengan hasil rompakan, Thoyib dan kawan-kawan naik ke darat untuk bagi hasil. Alangkah kecewanya Thoyib ketika Toni, yang selama ini dititipi hasil rompakan berupa uang dan emas, menyebut tabungan mereka telah disita polisi.
Semula Thoyib dan tiga kawannya, Cek Ing, Yohanes dan Herman percaya pada pengakuan Toni. Tetapi, seorang perempuan simpanan Toni mengadu bahwa selama mereka di laut, di darat Toni berfoya-foya.
“Aku setuju malam ini kita habisi budak taun (anak setan) itu,” kata Thoyib pada kawan-kawannya.
Mayat Toni penuh luka tusuk dan bacokan. Namun, mereka tak semua masuk sel. Cek Ing sukarela jadi tumbal. Dia mengaku sebagai pelaku tunggal kepada polisi.
Thoyib melarikan diri ke Lampung, bergabung dengan Basir, adik kandung Usman Gopok. Di daerah yang sebagian besar dikelilingi laut, kelompok baru Thoyib banyak beroperasi di kawasan Panjang. Mereka merompak kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Panjang.
Kelompok ini kemudian bertemu dengan sejumlah bandit Jakarta. Mereka sepakat beroperasi di dua wilayah, laut dan darat. Setiap anggota memiliki sepucuk pistol jenis FN. Pistol-pistol itu dibeli dari seorang tentara.
“Kelompok kami sangat terkenal saat itu. Kami merompak kapal Singapura, Jerman, Taiwan. Kami juga merampok toko emas, agen sepeda dan toko-toko yang besar,” kenang Thoyib.
AKHIR 1970. Empat orang memegangi tubuh Thoyib sambil memasang borgol dan rantai di tangan dan tubuhnya. Buk! Tubuh Thoyib dilempar ke bak belakang mobil Toyota Kijang milik Angkatan Laut. Tak berapa lama batu-batu melayang dan mendarat di tubuh Thoyib. Orang-orang di Pasar Bawah, Tanjungkarang, melampiaskan rasa benci mereka.
Beberapa menit sebelum penangkapan Thoyib, tujuh kawannya ditangkap di kamar kontrakan mereka.
Pemilik kontrakan melapor ke polisi. Perempuan tua itu sempat mengintip kegiatan Thoyib dan kawan-kawannya melalui lubang kecil di dinding papan. Dia terkejut melihat mereka tengah membersihkan senjata api.
Polisi menuduh kawanan Thoyib terlibat 17 kasus kejahatan. Thoyib dan kawan-kawan berusaha menyogok polisi, tapi gagal. Mereka divonis delapan tahun penjara. Ini menandai akhir masa jaya kelompok Thoyib di Lampung.
Memasuki bulan ketiga di tahanan kantor polisi, tiga dari kawanan itu berhasil kabur.
Akibatnya Thoyib dan empat rekannya dipindahkan ke sel isolasi di penjara Tanjungkarang. Satu orang menghuni satu sel. Selama setahun, dengan tubuh di rantai, mereka tak pernah menyaksikan siang maupun malam.
Pada 1972 pengadilan memindahkan Thoyib dan kawan-kawan ke penjara Cipinang, Jakarta. Di sini Thoyib hanya bertahan lima bulan. Dia berkelahi dengan kelompok bandit yang lebih dulu ditahan di sana. Thoyib lantas dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, dan mendekam di situ cuma sepekan. Pasalnya, dia ribut dengan pegawai penjara gara-gara distribusi makanan para tahanan.
Kali ini Thoyib dipindahkan ke penjara Banceuy Bandung, yang sekarang sudah jadi pertokoan. Baru tiga hari di tahanan, dia sudah menusuk bandit yang berkuasa di penjara itu. Thoyib marah rambutnya dipaksa potong pendek.
Dia pun dipindahkan ke penjara Cirebon. Setelah dua tahun di situ, Thoyib kembali berkelahi dengan sesama penghuni penjara. Dia terpaksa dipindahkan ke penjara Kuningan, masih di sekitar Jawa Barat.
Pada 1977, Thoyib bebas. Tapi dia tak langsung pulang ke Palembang. Thoyib malah membentuk kelompok bandit Cirebon. Setelah bentrokan di dalam, kelompok itu bubar jalan. Thoyib pun memutuskan pulang kampung.
SUATU sore Thoyib duduk di teras rumah panggung orangtuanya. Dia memikirkan apa yang didengarnya semalaman: suara ibunya. “Nak, tolong ibu, berentilah. Ingat nerako. Nerako (Nak, tolong ibu, berhentilah. Ingat neraka. Neraka).” Sang ibu, Nuriah namanya, meminta Thoyib bertobat. Menjelang magrib, suara itu masih mengiang di telinga.
Dia pergi ke tepi sungai Ogan. Dia mengambil sebuah batu koral sebesar kelereng, lalu melemparnya ke permukaan air sungai. Sebelum melempar batu, dia bersumpah. “Jika batu ini mengapung aku tetap menjadi bandit. Apabila tenggelam aku akan berhenti menjadi bandit. Bila aku melanggarnya, berarti aku keluar dari Islam. Tetapi, kalau berkelahi untuk membela diri atau teman, kalau terpaksa, aku harus melawan.”
Batu koral itu tenggelam.
Thoyib menepati nazarnya. Dia berhenti jadi bandit. Itu tahun 1979.
Hidup dengan prinsip baru bukan hal gampang. Pemasukan tak ada. Godaan untuk merampok selalu datang. Untuk menghindari godaan itu, dia nekad pergi ke sebuah sawmill atau pabrik pemotongan kayu.
Di sepanjang sungai Ogan terdapat 20 pabrik pemotongan kayu. Pabrik-pabrik itu punya masalah. Para pemiliknya sering mengeluh soal kayu mereka yang hilang dicuri.
“Aku menawari jasa menjadi keamanan pabrik mereka. Mereka setuju,” kisah Thoyib.
Setiap bulan Thoyib menerima gaji. “Itulah gaji halal pertamaku.”
Para pemilik pabrik puas dengan kerja Thoyib. Pencurian kayu berkurang. “Saya mengajak semua kawan yang diduga menjadi pencuri kayu sebagai tenaga keamanan sawmill.”
Nasib baik datang lagi. Seorang pengusaha angkutan kapal bernama Anang Yunus alias O An, mengajak Thoyib berbisnis. Dia menawari Thoyib mengelola pabrik, bukan sekadar penjaga tapi pemilik. Thoyib menerima tawaran tersebut. Keuntungan usaha dibagi dua, meski Anang Yunus pemilik modal.
Namun, kejayaan Thoyib sebagai pengusaha kayu habis pada 1983 menyusul operasi militer terhadap kayu ilegal, termasuk sawmill tak berizin. Mereka yang biasa memasok bahan baku kayu pada Thoyib putar haluan. Mereka memilih menjual bahan baku kepada perusahaan resmi.
Kebangkrutan Thoyib disusul musibah lain. Thoyib ditangkap dan di penjara selama sembilan hari. Penyebabnya?
Dalam mobil milik Thoyib ditemukan mayat. Salah seorang sahabat Toyib, bernama Atai, membunuh orang di mobil itu.
Selama setahun ekonomi keluarga Thoyib pas-pasan. “Saya sempat terpikir mau menjadi perompak lagi, tapi saya selalu teringat dengan sumpah itu.”
Suatu hari dia bertemu Ramli Sutanegara, pengurus Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong atau Kosgoro.
“Awak bergabung bae dengan organisasi ini. Awak harus mengenal orang-orang penting, mana tahu nanti akan ada gawean buat awak,” kata Sutanegara kepada Thoyib sambil menuangkan bir ke gelasnya.
Saat itu Thoyib bertamu ke kantor Kosgoro di samping bioskop Sanggar, Jalan Rustam Effendy, Palembang.
“Kalau memang bagus buat aku, ya, aku bergabung. Tapi aku nih harus banyak belajar dari awak, aku belum pernah berorganisasi,” kata Thoyib pada Sutanegara.
Pada 1986, dua tahun setelah pertemuan dengan Sutanegara, Thoyib menjabat ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia wilayah Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Pada 1993, dia juga menjadi ketua Pemuda Pancasila wilayah yang sama. Posisi Thoyib di organisasi makin cemerlang saat dia menjadi ketua Pemuda Pancasila Kota Palembang periode 1994-1999.
Selama gerakan antikebijakan pemerintahan Soeharto, massa dari organisasi tersebut jadi tameng status quo. Mereka menjadi pengaman dalam setiap aksi ke kantor pemerintah, memobilisasi massa saat kampanye pemilihan umum, atau meneror masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah.
“Tugas kami selain memobilisasi massa saat kampanye, juga mengamankan kantor pemerintah ketika ada unjuk rasa dan mengamankan lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah,” kata Ridwan, agen sayuran di pasar induk Jakabaring, anak buah Thoyib.
Saat kerusuhan Mei 1998 yang berujung jatuhnya Soeharto, para bandit menjadi salah satu pelaku utama penjarahan terhadap pertokoan dan rumah-rumah milik etnik Tionghoa. Mereka bersama warga lain merampas harta benda dan merusak pertokoan atau rumah orang Tionghoa. Bahkan, menurut informasi dari Tim Relawan Kemanusiaan di Palembang, terjadi pula pelecehan seksual terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.
“Kami mengambil apa saja. Makanan, barang-barang elektronik. Ya, kami menimbun di rumah sebelum dijual,” kata Ridwan, bangga.
Di sisi lain, para bandit ini dapat uang juga dari orang-orang Tionghoa kaya. Mereka disewa untuk menjaga pertokoan dan rumah-rumah. Keuntungan ganda.
SENIN, 19 Februari 2001, Thoyib bersama anggota organisasi PMPB berunjuk rasa ke gedung Dewan Sumatra Selatan di Jalan Pekan Olahraga Mahasiswa IX Palembang. Massa sekitar 250 orang.
Thoyib menyebut aksinya untuk membendung aksi para provokator dari Jakarta dan Lampung yang datang ke Palembang. Provokator itu dikabarkan akan memicu konflik antar etnik dan agama di Palembang.
“Sebagai wong Palembang saya sangat khawatir. Saya tidak mau Palembang ini menjadi Ambon.”
Thoyib menilai konflik di Ambon adalah konflik antara “Islam” dengan “Kristen”, sedangkan di Lampung antara “penduduk asli” dan “pendatang” dari Jawa. Dia tak tahu kalau konflik di Ambon juga bernuansa etnik, yaitu antara “bangsa Alifuru” dan “pendatang” dengan label BBM; Bugis, Buton, Makassar.
Tetapi ada yang menganggap aksi Thoyib itu bertujuan melindungi kepentingan politik para anggota dewan. Saat itu mereka menjadi perhatian masyarakat dan sering jadi sasaran unjuk rasa mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat gara-gara dugaan korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp 2,1 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumatra Selatan tahun 2000.
Februar Rachman dari Partai Demokrasi Banteng Kebangsaan, menilai PMPB sebagai organisasi bandit.
“Perilaku mereka kan tetap seperti bandit. Melakukan kekerasan,” kata Rachman.
Pertengahan Maret 2005, Thoyib dan Febuar Rachman nyaris berkelahi di Pasar Induk Jakabaring, Palembang.
Pagi itu Rachman ingin bertemu walikota Eddy Santana Putra yang akan membuka kegiatan pasar murah. Dia datang bersama sejumlah aktivis dan mahasiswa. Tiba-tiba para pedagang dan Februar Rachman mendapat serangan dari orang-orang Thoyib, yang jadi petugas keamanan pasar tersebut. Mereka mengatakan ada kabar Febuar Rachman bersama mahasiswa dan aktivis itu hendak merebut lahan kerja mereka.
“Apa kami gilo? Kami mau bertemu dengan walikota untuk membahas lokasi para pedagang kaki lima yang digusur di Pasar 16 Ilir. Termasuk janji keringanan pembelian kios. Bukan minta jatah,” kata Febuar Rachman.
Thoyib membela anak buahnya, “Kita bukan meneror atau mengancam. Kita justru berjaga-jaga agar kondisi aman dan lancar.”
RUANG tamu terletak di bagian bawah rumah panggung itu, dicat putih. Ada dua stel kursi tamu di sana. Kursi sofa dan kursi jati ukiran. Di dinding dan bufet terpajang potret Thoyib bersama antara lain, Eddy Santana Putra dan mantan gubernur Sumatra Selatan Ramli Hasan Basri.
Di dinding lain juga terpampang foto Thoyib dengan Ibnu Hartomo. “Dia kan adik Ibu Tien Soeharto. Kami bertemu di rumahnya di kawasan Condet, Jakarta, sekitar tahun 80-an awal,” kata Thoyib. “Saya ke rumahnya untuk mengurusi perkebunan miliknya di Banyuasin yang bermasalah,” lanjutnya.
Thoyib kini berencana membangun sebuah pesantren di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, di atas lahan dua hektare. Pesantren ini akan diberi nama Al-Amanah. Untuk tujuan ini, Thoyib bekerjasama dengan Ali Singo, yang juga mantan bandit. ***
Sejarah Banding Palembang
BANDIT menurut kamus bahasa artinya penjahat, sedangkan banditisme adalah perilaku atau tindakan seperti bandit. Di Palembang, bandit punya banyak sebutan. Ada yang menyebut “juaro” yang diperuntukan penjahat jago berkelahi, main perempuan, berjudi dan calak atau licik. Lalu, “tikus angin” buat menyebut bandit kampung atau bandit yang kejahatannya sebatas mencuri sandal jepit, sepatu, pakaian yang dijemur atau ayam.
Bandit yang melakukan kejahatan besar di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Hongkong atau Taiwan, disebut “duta” yang artinya utusan. Penyebutan duta ini merupakan penghalusan penyebutan para bandit yang beroperasi di luar negeri. Di mata keluarga dan kerabatnya, para duta ini dianggap pahlawan. Sebab hasil kejahatan mereka biasanya digunakan buat modal usaha keluarga atau dibagikan kepada kawan-kawan si duta yang tak mampu.
Daerah yang paling banyak duta-nya adalah Kayuagung, sebuah kota sekitar 60 kilometer dari Palembang ke arah selatan. Sebelum berangkat biasanya keluarga si calon duta akan melakukan selamatan atau sedekah. Ritual tersebut berupa doa bersama agar si duta sukses dan selamat dalam menjalankan misinya.
Menariknya sebagian duta ini hanya satu kali melakukan kejahatan. Mereka melakukan kejahatan itu guna mencari modal buat usaha, atau langkah terakhir untuk mengatasi kemiskinan. Tidak ada duta yang gagal saat pulang ke kampungnya. Mereka yang gagal tak pulang. Lebih baik mereka memilih mati di jalanan.
Bagaimana menebak seseorang itu bandit atau bukan di Palembang? Meski tak pasti benar, saya mencatat ciri-ciri seorang bandit. Misalnya di tubuhnya ada tato.
Tato yang dibuat bukan pula mengedepankan unsur keindahan, melainkan sebagai tanda bae. Umumnya dibuat dengan alat tradisional, jarum dan tinta, sehingga bentuknya tak begitu jelas atau tak beraturan tebal-tipis tintanya. Motif tato pun hanya sebatas nama, hati perlambang cinta, senjata, ular, atau harimau. Tato-tato itu biasanya dibuat di lengan, bahu dan dada. Sejumlah bandit mengatakan pembuatan tato itu dilakukan oleh kawan mereka di penjara atau di kampung.
Pada era 70-an dan 80-an, para bandit di Palembang umumnya berambut panjang. Mengenakan blue jeans ketat dan jaket kulit. Sesekali mengenakan t-shirt yang kedua lengannya dipotong. Cincin dengan batu besar dan akar bahar menghiasi jari tangan. Di leher melingkar kalung emas.
Ada dua tipe tubuh bandit di masa itu, kerempeng dan kekar. Yang kerempeng umumnya mengonsumsi ganja, sedangkan yang kekar senangnya menegak bir atau anggur.
Ciri lainnya, dari pinggang mereka tersembul ujung belati.
Pada era 90-an hingga saat ini, ciri-ciri itu mulai pudar, dan hanya dapat dilihat pada bandit-bandit kampung. Bandit-bandit gaul, penampilannya sudah trendi. Berambut pendek, mengenakan kemeja atau celana jins yang disetrika.
Yang jadi tanda khusus biasanya kelopak mata. Cenderung lembam, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak tidur. Jika memandang seseorang, lama dan tak berkedip. Bila menghadiri suatu acara—misalnya menjadi pengaman—mengambil posisi duduk atau berdiri agak ke sudut. Banyak mengenakan kacamata hitam. Jarang bicara.
Bila di tempat karaoke, mereka umumnya menyanyi dengan suara dibesarkan. Lagu-lagu yang dipilih umumnya berirama melayu atau dangdut. Lagu pop yang banyak digemari adalah lagu-lagu yang dipopulerkan Broery Pesolima atau Broery Marantika seperti lagu Jangan Ada Dusta di Antara Kita dan Karisma Cinta atau lagu-lagu milik Panbers dan Mercys. Terakhir, rokok yang mereka hisap umumnya rokok kretek.
Khusus bandit duta, yang baru pulang ke Kayuagung, akan mengenakan sepatu putih, celana berwarna putih serta kemeja putih.
Di mana kita dapat menemukan bandit-bandit kampung? Paling banyak di Lorong Budi. Ini kampung bandit. Hampir setiap rumah di kampung itu dihuni bandit. Pencopet. Penodong. Dari sini banyak bandit mengorbit jadi perampok rumah, perompak kapal, juga juragan bisnis seks.
Di Lorong Budi, tidak sedikit sebuah keluarga dari kakek, bapak hingga cucu adalah bandit. Banyak kaum perempuannya, baik yang bekerja maupun tidak, senang bermain judi kartu domino. Hari-hari kaum pria, dari bapak hingga ke anak-anak, menenggak anggur. Sebagian besar dari mereka tak tamat sekolah dasar.
Meskipun sebagian besar warganya bandit, kampung itu cukup aman, kecuali ada penyerangan dari kampung lain.
Kurun 1960 – 1970, peperangan antarkampung merupakan hal biasa. Kaum remaja yang sering berperang biasanya membentuk geng atau kelompok. Hidup geng bersandar dari uang hasil mencopet, menodong, mencuri atau memeras para pedagang di pasar. Bila ada anggota geng dari keluarga mampu umumnya “memeras” atau mencuri uang dan perhiasan milik orangtuanya.
Penampilan anggota geng-geng kampung ini tergantung dengan grup atau penyanyi yang mereka kagumi. Ada yang berpenampilan seperti anggota The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple atau Rhoma Irama.
Selain Lorong Budi, kantong-kantong bandit di Palembang adalah Kampung Lawang Kidul yang lebih dikenal Boom Baru—karena di kampung Lawang Kidul terdapat pelabuhan yang bernama Boom Baru—Kampung 13 Ilir, Kampung 14 Ilir, Kampung 10 Ilir, Kampung Kuto Batu, Kampung Sekojo, Kampung Tanggabuntung, Kampung Suro, Kampung Sei Batang, serta kampung Dwikora.
Semuanya masuk kawasan Palembang Ilir. Pada Palembang Ulu? Banyak juga, antara lain Kampung Kertapati, Kampung Sungki, Kampung Tembok Batu, Kampung 7 Ulu, Kampung 5 Ulu.
Ulu dan Ilir adalah identitas topografi Palembang. Kota ini memang dibelah sungai Musi, sehingga muncul dua kawasan: Palembang Ulu dan Palembang Ilir. Tak di Ulu atau Ilir, setiap bandit di Palembang selalu membawa senjata tajam, selain senjata api. Senjata tajam bisa belati, pedang atau pisau garfu. Belati umumnya dibawa bandit yang menjaga keamanan di pasar, pertokoan, terminal, atau yang menjadi penodong atau pencopet.
Belati senjata favorit. Juga bagi warga kebanyakan. Cara membawa senjata ini dimasukan ke sarung dari kulit atau kertas tebal yang dilipat kemudian diselipkan di pinggang.
Pedang dibawa para bandit yang lebih mapan. Pedang biasanya disimpan di kendaraan mereka. Pisau garpu dibawa bandit-bandit kampung. Senjata ini juga diselipkan di pinggang atau di dalam kaos kaki yang dikenakan. Pisau garpu terbuat dari garpu yang ujungnya diasah hingga menjadi tajam.
Kantong-kantong bandit kini sudah berkurang menyusul kebakaran lima kampung di Palembang, yakni 22 Ilir, 24 Ilir, 26 Ilir, 27 Ilir, pada Agustus 1982. Lorong Budi bahkan rata dengan tanah. Warganya mengungsi ke berbagai daerah.
Komunitas bandit juga berkurang ketika “skandal petrus” meletus. Petrus akronim penembak misterius. ”... Petrus itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang yang suka mengganggu ketentraman masyarakat,” kata Soeharto, bekas diktator Indonesia, dalam buku biografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Para bandit yang selamat dari Petrus dan memilih berhenti merampok tersebar di berbagai daerah. Kelompok Ibrahim Kepala 12 di Plaju. Kelompok Atai di Boom Baru. Kelompok Juki di Kertapati. Kelompok Thoyib, juga dari Kertapati, dapat dibilang paling bersinar di Sumatra Selatan.
Sejarawan lokal Djohan Hanafiah mengatakan, masyarakat Palembang harus hati-hati dengan aksi kekerasan yang dilakukan para bandit yang terorganisasi saat ini. ”Bandit-banditnya sudah pintar. Mereka sudah tahu cara berbisnis dan berpolitik. Hati-hati dengan aksi kekerasan yang mereka lakukan. Sejarah mencatat kekacauan akibat perubahan politik selalu memberi peluang aksi kekerasan para bandit.”
Kata-kata Hanafiah mungkin bisa dilacak kebenarannya pada proses pemilihan walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan. Massa Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu ikut “mengamankan” acara pemilihan. ***
Posted by Andreas Harsono at 1:39 PM
Labels: Malay, News Story
Sekilas Kayuagung
Kayuagung adalah kabupaten yang merupakan ibu kota kabupaten Ogan Komering Ilir sumatera selatan, Indonesia.
Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan daerah di Sumatera Selatan yang luasnya sekitar 21.469,90 kilometer persegi yang secara geografis terletak antara 104 20'-160' derajat Bujur Timur dan 4o 30'-4o 15 derajat Lintang Selatan. Ibukotanya Kayuagung, sekitar 66 km di selatan Palembang. Berpenduduk sebanyak 972.000 lebih yang sebagian besar beragama Islam.Topografi daerah ini didominasi dataran rendah dengan rawa-rawa yang luas, terutama di kawasan Timur yang berbatas dengan selat Bangka dan Laut Jawa. Dataran tinggi dan perbukitan sulit dijumpai di daerah ini.
Dataran rendah sebagian masih berhutan lebat dan padang alang-alang, disamping terdapat perkebunan karet, kelapa sawit, buah-buahan, tebu, dan lain sebagainya. Pabrik gula di Sumatera Selatan yang mensuplai kebutuhan gula untuk daerah ini.
Mata pencaharian penduduknya umumnya bertani, disamping sebagai pengrajin pada industri kecil dan pertukangan. Kayuagung cukup terkenal dengan kerajinan tanah liat yang memproduksi alat-alat masak, dapur, dsb.
Industri kerajinan antara lain kerajinan keramik yang berlokasi di Payakabung, tenu kain tanjung, kerajinan kuningan, emas dan alumunium dan lain-lain. Ogan Komering Ilir dikenal sebagai daerah pengahasil buah-buahan dan ikan si Sumatera Selatan.
Dari sisi negatifnya ada hal hal yang tidak berkenan di mata masyarakat luas, contohnya tidak sedikit orang Kayuagung yang menjadi Duta atau keratak atau juga di sebut penjahat halus.
Aku sendiri tidak tahu pasti apa sebenarnya yang dilakukan para duta di kampungku ketika mereka mintar ke Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong, Thailand, atau entah ke mana lagi. Dari isu yang kudengar, mereka ada yang menjadi agen asuransi kemudian melarikan uang itu setelah dapat banyak, ada yang melakukan hipnotis dengan bujuk rayu kata-kata, ada yang menukarkan tas yang sama dengan calon korban, dan entah apa lagi. Yang pasti, kata orang, para duta itu tidak ada yang terang-terangan maling terlebih merampok. Mereka juga punya pantangan menyakiti korbannya. Tapi entahlah.
Dulu, di kampung sidakersa pernah ada yang membawa pulang uang sebanyak satu milyar hanya dalam waktu dua minggu. Pernah juga ada yang membawa uang seratus juta setelah dua bulan mintar. Namun pernah juga ada yang tidak berhasil setelah tiga atau empat bulan pergi. Dari yang kudengar, para duta itu kebanyakan berhasil membawa pulang uang sekurang-kurangnya puluhan juta rupiah. Dari hasil mereka ngeratak itulah ada yang mampu membangun rumah, membeli kendaraan, naik haji, membangun masjid, membangun jalan kampung, atau menjadi bos lebak lebung.
Itu semua tentu saja kabar yang baiknya. Tentang kabar yang tidak baik, aku pun pernah mendengar. Mang Akip misalnya, sejak lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga pulang. Kabarnya dia ditangkap di Malaysia dan dihukum mati di sana.Terdengar juga kabar bahwa dia masih di penjara. Entah mana yang benar.
Ada lagi Mang Udin, kabar yang tersiar sejak tahun lalu, katanya dia ditembak polisi interpol di Singapura. Kawan-kawan duta-nya yang lain tidak bisa mengambil jenazahnya karena faktor keamanan.
Untuk menjadi seorang duta jelas tidak gampang. Di samping harus memilki pegangan khusus, baik dari kiai maupun dari dukun, juga harus mampu berpenampilan intelek dan perlente. Sebab kebanyakan para duta tidak sama dengan penyamun. Mereka pun pantang beroperasi di negeri sendiri. Ada semacam hukum tidak tertulis yang membuat mereka berpantang seperti itu. Di antara mereka, ada yang memang beroperasi sendiri, namun ada juga yang berkelompok antara dua sampai lima orang. Yang beroperasi sendiri jelas berusaha dengan segala trik dan kemampuannya. Namun bagi yang kelompok, mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang bertugas mengecoh calon korban, ada juga yang bertugas memata-matai--yang biasanya telah berangkat terlebih dahulu ke daerah atau negara sasaran.
Dari sisi positif kita lihat duta itu mendatangkan devisa untuk negara kita ,dia juga bisa disebut dengan" pahlawan devisa" .Duta juga ada sifat pantangan beraksi di dalam negeri , mereka menganggap jika mereka beraksi di indonesia sama saja halnya dengan mereka makan dengan lauk daging tubuh mereka sendiri.
.
Banyak juga yang menyebut Kayuagung sebagaI "KOTA DUTA"
Tapi, semoga di masa yang akan datang kita berdoa kepada tuhan supaya anak-anak kayuagung nantinya tidak ada lagi yang mengenal duta / keratak /penjahat, apalagi masih berprofesi sebagai duta, Karena diakui bahwa hidup kita di dunia ini tidak akan kekal, kita semua akan kembali kepada sang pencipta.
Makanya temen-temen se tanah air doakan ya agar doaku ini tercapai Amiennnnnn......
Kayuagung, Indonesia Page
Other names: Kajoeagoeng,Kajuagung
World:Indonesia
Latitude -3.4000 Longitude 104.8333 Altitude (feet) 52
Lat (DMS) 3° 23' 60S Long (DMS) 104° 49' 60E Altitude (meters) 15
Time zone (est) UTC+7
Approximate population for 7 km radius from this point: 8008
Google links for Kayuagung Google links for Kayuagung, Indonesia
Kabupaten Ogan Komering Ilir merupakan daerah di Sumatera Selatan yang luasnya sekitar 21.469,90 kilometer persegi yang secara geografis terletak antara 104 20'-160' derajat Bujur Timur dan 4o 30'-4o 15 derajat Lintang Selatan. Ibukotanya Kayuagung, sekitar 66 km di selatan Palembang. Berpenduduk sebanyak 972.000 lebih yang sebagian besar beragama Islam.Topografi daerah ini didominasi dataran rendah dengan rawa-rawa yang luas, terutama di kawasan Timur yang berbatas dengan selat Bangka dan Laut Jawa. Dataran tinggi dan perbukitan sulit dijumpai di daerah ini.
Dataran rendah sebagian masih berhutan lebat dan padang alang-alang, disamping terdapat perkebunan karet, kelapa sawit, buah-buahan, tebu, dan lain sebagainya. Pabrik gula di Sumatera Selatan yang mensuplai kebutuhan gula untuk daerah ini.
Mata pencaharian penduduknya umumnya bertani, disamping sebagai pengrajin pada industri kecil dan pertukangan. Kayuagung cukup terkenal dengan kerajinan tanah liat yang memproduksi alat-alat masak, dapur, dsb.
Industri kerajinan antara lain kerajinan keramik yang berlokasi di Payakabung, tenu kain tanjung, kerajinan kuningan, emas dan alumunium dan lain-lain. Ogan Komering Ilir dikenal sebagai daerah pengahasil buah-buahan dan ikan si Sumatera Selatan.
Dari sisi negatifnya ada hal hal yang tidak berkenan di mata masyarakat luas, contohnya tidak sedikit orang Kayuagung yang menjadi Duta atau keratak atau juga di sebut penjahat halus.
Aku sendiri tidak tahu pasti apa sebenarnya yang dilakukan para duta di kampungku ketika mereka mintar ke Singapura, Malaysia, Brunei, Hongkong, Thailand, atau entah ke mana lagi. Dari isu yang kudengar, mereka ada yang menjadi agen asuransi kemudian melarikan uang itu setelah dapat banyak, ada yang melakukan hipnotis dengan bujuk rayu kata-kata, ada yang menukarkan tas yang sama dengan calon korban, dan entah apa lagi. Yang pasti, kata orang, para duta itu tidak ada yang terang-terangan maling terlebih merampok. Mereka juga punya pantangan menyakiti korbannya. Tapi entahlah.
Dulu, di kampung sidakersa pernah ada yang membawa pulang uang sebanyak satu milyar hanya dalam waktu dua minggu. Pernah juga ada yang membawa uang seratus juta setelah dua bulan mintar. Namun pernah juga ada yang tidak berhasil setelah tiga atau empat bulan pergi. Dari yang kudengar, para duta itu kebanyakan berhasil membawa pulang uang sekurang-kurangnya puluhan juta rupiah. Dari hasil mereka ngeratak itulah ada yang mampu membangun rumah, membeli kendaraan, naik haji, membangun masjid, membangun jalan kampung, atau menjadi bos lebak lebung.
Itu semua tentu saja kabar yang baiknya. Tentang kabar yang tidak baik, aku pun pernah mendengar. Mang Akip misalnya, sejak lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga pulang. Kabarnya dia ditangkap di Malaysia dan dihukum mati di sana.Terdengar juga kabar bahwa dia masih di penjara. Entah mana yang benar.
Ada lagi Mang Udin, kabar yang tersiar sejak tahun lalu, katanya dia ditembak polisi interpol di Singapura. Kawan-kawan duta-nya yang lain tidak bisa mengambil jenazahnya karena faktor keamanan.
Untuk menjadi seorang duta jelas tidak gampang. Di samping harus memilki pegangan khusus, baik dari kiai maupun dari dukun, juga harus mampu berpenampilan intelek dan perlente. Sebab kebanyakan para duta tidak sama dengan penyamun. Mereka pun pantang beroperasi di negeri sendiri. Ada semacam hukum tidak tertulis yang membuat mereka berpantang seperti itu. Di antara mereka, ada yang memang beroperasi sendiri, namun ada juga yang berkelompok antara dua sampai lima orang. Yang beroperasi sendiri jelas berusaha dengan segala trik dan kemampuannya. Namun bagi yang kelompok, mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang bertugas mengecoh calon korban, ada juga yang bertugas memata-matai--yang biasanya telah berangkat terlebih dahulu ke daerah atau negara sasaran.
Dari sisi positif kita lihat duta itu mendatangkan devisa untuk negara kita ,dia juga bisa disebut dengan" pahlawan devisa" .Duta juga ada sifat pantangan beraksi di dalam negeri , mereka menganggap jika mereka beraksi di indonesia sama saja halnya dengan mereka makan dengan lauk daging tubuh mereka sendiri.
.
Banyak juga yang menyebut Kayuagung sebagaI "KOTA DUTA"
Tapi, semoga di masa yang akan datang kita berdoa kepada tuhan supaya anak-anak kayuagung nantinya tidak ada lagi yang mengenal duta / keratak /penjahat, apalagi masih berprofesi sebagai duta, Karena diakui bahwa hidup kita di dunia ini tidak akan kekal, kita semua akan kembali kepada sang pencipta.
Makanya temen-temen se tanah air doakan ya agar doaku ini tercapai Amiennnnnn......
Kayuagung, Indonesia Page
Other names: Kajoeagoeng,Kajuagung
World:Indonesia
Latitude -3.4000 Longitude 104.8333 Altitude (feet) 52
Lat (DMS) 3° 23' 60S Long (DMS) 104° 49' 60E Altitude (meters) 15
Time zone (est) UTC+7
Approximate population for 7 km radius from this point: 8008
Google links for Kayuagung Google links for Kayuagung, Indonesia
Minggu, September 14, 2008
Langganan:
Postingan (Atom)